Profil Abu Manshur Al-Maturidi

Posted by Irfan Mubarok on Oktober 05, 2017


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.
Bismillahirrahmaanirrahiim
Tiada tempat untuk mengucapkan puji syukur atas terselesaikannya penulisan makalah studi Sejarah Pemikiran Islam kecuali hanya kepada Allah SWT. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang  telah memberikan penerangan ilmu pengetahuan kepada umatnya.
Tiada keberhasilan  yang diperoleh penulis tanpa adanya bantuan dari pihak lain. Karena itu, pada kesempatan ini izinkan penulis  menyampaikan  penghargaan dan rasa terimakasih kepada:
1       1.   Bapak Dr. Maftukhin M.Ag, selaku rektor IAIN Tulungagung.
2.      Bapak Prof. Dr. H. Achmad Patoni, M.Ag, selaku direktur Pascasarjana IAIN Tulungagung.
3.      Bapak Dr.Ngainun Naim,M.H.I, selaku dosen mata kuliah Sejaraah Pemikiran Islam
4.      Teman-teman yang telah berpartisipasi dalam penyelesaian makalah ini.
Namun dengan keterbatasan penulis, maka penulisan makalah ini amatlah jauh dari kesempurnaan serta mutu yang diharapkan, meskipun semua itu telah penulis upayakan secara maksimal. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca selalu penulis harapkan.
Harapan penulis semoga amal  baik yang telah diberikan oleh pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini memperoleh balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Penulis berdo’a semoga makalah Sejarah Pemikiran Islam ini diridhai Allah dan dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membacanya.

Wassalamu’alaikumwr.wb.
                                                                                    Tulungagung, November  2015

                                                                                               
                                                                                                      Penulis













BAB I
PENDAHULUAN

A.    Pendahuluan
Untuk memahami konsep agama yang masih murni, global, abstrak, yang tertuang dalam Al-Quran dan Hadis yang dapat diinterprestasikan dengan berbagai interprestasi ketika memahami dalil-dalilnya, tidak cukup dipahami secara nalar atau mengandalkan akal. Akan tetapi, juga membutuhkan kejernihan hati yang tanpa didasari oleh hawa nafsu atau ambisi belaka, dan yang paling penting adalah suatu pemahaman yang sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah SWT. 
Dalam perkembanganya, sejarah pemikiran teologi Islam banyak memunculkan kelompok-kelompok dan aliran tertentu yang mengklaim dirinya atau kelompoknya yang paling benar. Setiap kelompok mencoba menawarkan konsep ideologi yang berkaitan dengan teologi, ahklak, maupun konsep syari’at yang berbeda satu sama lain. Hal ini menyebabkan kebingungan bagi orang awam untuk menentukan manakah kelompok yang benar dan yang salah, pasalnya setiap kelompok atau aliran mengklaim dirinya paling benar.
Dalam makalah ini, penulis akan menyajikan pembahasan mengenai salah satu aliran yang berkembang sebagi bentuk penolakan terhadap pemikiran orang-orang atau kelompok yang ingin berusaha merusak tatanan syari’at  yang telah dirumuskan oleh ulama’ salaf. Kelompok yang dimaksud adalah al-Maturidiyah yang di pelopori oleh Abu Manshur Al-Maturidi. Sedangkan sekelompok orang-orang yang mengikuti konsep pemikiran Abu Mansur Al-Maturidi ini disebut Aliran al-Maturidiyah.
Menarik untuk dikaji, bahwasanya antara aliran Al-Maturidiyah dan Al-Asyariah merupakan aliran yang dijadikan sebagai sandaran bagi Ahluss Sunah Wal Jama’ah dalam kaitanya pemahaman konsep ketuhanan atau teologi. al-Maturidiyah yang dipelopori oleh Mansur al-Maturidi layak untuk dijadikan sebagai sandaran konsep teologi, mengingat dalam pemikiranya sangat didasarkan atas pemahaman-pemahaman ulama’ salaf yang jika diruntut akan sampai pada Nabi Muhammad saw, serta memiliki bentuk pemikiran yang sejalan dengan Abu Hasan al-Asy’ari.

B.     Rumusan Masalah
1.      Siapakah Abu Mansur al-Maturidi ?
2.      Apa saja karya-karya Abu Mansur al-Maturidi ?
3.      Apakah pengertian Al-Maturidiyah samarkand dan al-Maturidiyah Bukhara?
4.      Apa persamaan dan perbedaan pemikiran Abu Mansur al-Maturidi dengan Abu Hasan al-Asyari?
C.    Tujuan Pembahasan
1.       Untuk mendeskripsikan siapakah Abu Mansur al-Maturidi.
2.       Untuk mendeskripsikan karya-karya Abu Mansur al-Maturidi.
3.      Untuk mendeskripsikan pengertian al-Maturidiyah samarkand dan al-Maturidiyah Bukhara.
4.      Untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan pemikiran Abu Mansur al-Maturidi dengan Abu Hasan al-Asyari?



















BAB II
PEMBAHASAN

1A.      Profil Abu Mansur Al-Maturidi
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud, yang dikenal dengan sebutan Abu Manshur al-Maturidi. Sejarawan kesulitan dalam melacak kelahiran dan masa kecilnya. Abu Zahrah mengatakan, kelahiranya dipertengahan abad ke-3 H tepat setelah tragedi Mihnah. Al-Maturidi lahir di distrik Maturid, yang termasuk bagian dari kota Samarkand. Samarkand adalah salah satu dari kota besar di wilayah Ma Wara an-Nahr. Wilayah ini kurang lebih sekarang terletak disekitar Uzbekistan. Dari Maturid inilah namanya dinisbatkan.[1]
Tahun kelahirannya tidak diketahui pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. al-Maturidi hidup pada masa khalifah al-Mutwakil yang memerintah pada tahun 232-274 H/847-861 M.[2]
Al-Maturidi lebih dikenal dengan pemikir mazhab Hanafi, bahkan dia sebagai tokoh utama ilmu kalam dalam mazhab tersebut. Al-Maturidi mengenal ilmu kalam dari gurunya Nashr bin Yahya Al-Balkhi (wafat 268). Sebelumnya, kota tempat dia tinggal dikenal sebagai pusat diskusi fiqih dan Ushul fiqih antara mazhab Syafi’i dan Hanafi, setelah beberapa tahun kemudian, tepatnya setelah tragedi Mihnah memuncak, berbalik menjadi pusat diskusi ilmu teologi.
Pada masa itu, al-Maturidi termasuk sosok berpengaruh dalam persoalan ilmu teologi. Keahlianya ini terbukti ia pernah mendapatkan 22 kali undangan diskusi dalam satu tempo di kota Basrah. Konsentrasi al-Maturidi beralih dari fiqih menuju ilmu kalam karena tuntutan situasi ketika itu dengan memandang perlunya berjuang meredam hujatan-hujatan dari kelompok yang ingin mendobrak tatanan yang telah dirumuskan ulama’ salaf, dia berinisiatif mengedepankan ilmu teologi dan diskusi (munadzarah) sebagai usaha protektif terhadap mazhab salaf yang merupakan embrio munculnya Ahlussunnah Wal Jama’ah.[3]
Menurut para ulama-ulama Hanafiah, hasil pemikiran al-Maturidi dalam bidang aqidah sama benar dengan pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah sebelum terjun ke dalam lapangan fiqih dan menjadi tokohnya, telah lama bekecimpung dalam lapangan aqidah serta banyak pula mengadakan polemik dan perdebatan seperti yang dikehendaki oleh suasana zamanya, dan salah satu buah karyanya dalam lapangan aqidah adalah bukunya yang berjudul “Al-Fiqhul Akbar”. Pertalian antara kedua tokoh tersebut dikuatkan oleh pengakuan Al-Maturidi sendiri, bahwa ia menerima dan mempelajari buku-buku Abu Hanifah dengan suatu silsilah nama-nama yangg dimulai dari gurunya dan seterusnya sampai kepada pengarangnya sendiri. Kebanyakan ulama-ulama Maturidiyah terdiri dari orang-orang pengikut aliran fiqih Hanafiah, seperti Fachruddin Al-Bazdawi, At-Taftazani, An-Nasa’i, Ibnul Hammam dan lainya.[4]
Perlu diketahui, bahwasanya tidak semua pengikut aliran Hanafiah mengikuti pemikiran akidah Al-Maturidi, melainkan juga ada yang mengikuti pemikiran As-Asyariyah. Menurut Al-Iz Abdussalam pernah berkomentar bahwasanya akidah Abu Hasan Al-Asyari telah disepakati oleh para pengikut mazhab Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah, dan pembesar mazhab Hanbalah, diantaranya adalah Abu Amr bin Hajib sebagai pemuka mazhab Malikiyah, Jamaluddin Al-Hushoiri sebagai pemuka mazhab Hanafiyah, dan Taqiyudin As-Subki.[5] 
Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwasanya al-Maturidi merupakan seseorang penganut mazhab Hanafiah yang latar belakang pemikiranya muncul akibat dari ketidaksepahaman dengan kelompok-kelompok yang berusaha merusak tatanan akidah yang telah dirumuskan oleh ulama salaf, kelompok yang dimaksud adalah Mu’tazilah. Al-Maturidi sendiri bukanlah orang yang berasal dari kelompok Mu’tazilah sebagaimana Al-Asy’ari.      
Sebagaimana kebiasaan ulama-ulama salaf lainya, al-Maturidi memiliki guru lebih dari satu. Namun dari beberapa gurunya, ternyata mata rantai ilmiah Al-Maturidi berujung pada Imam Abu Hanifah. Disebutkan oleh Kafawi, sebagaimana dinukil oleh Al-Fayumi bahwa rantai ilmiah Al-Maturidi ialah bermula dari Abu Nasr Al Iyadhi yang merupakan murid dari Abu Bakar Ahmad Al-Jauzijani. Guru dari Abu Bakar adalah Abu Sulaiman Al-Jauzajani dan merupakan murid dari syekh Muhammad Ibn Hasan. Syekh Muhammad adalah murid langsung dari Imam Abu Hanifah.[6]

2B.      Karya-karya Abu Mansur Al-Maturidi
Seperti yang telah dilakukan al-Asyari, al-Maturidi juga membuat karya sebagai wujud usahanya membentengi akidah salaf, seperti Bayan Wahmil Mu’tazilah, Rad Al-Ushul al-Khomsah li Abi Muhammad Al-Bahili, Rad Awa’il Al Adilah li Al Ka’bi dan Rad Tahdzib Al Jadl li Al Ka’bi, keempat-empatnya sebagai bentuk penentanganya terhadap Mu’tazilah yang muncul di Samarkand.
Karya-karya al-Maturidi sangat kental sekali dengan corak pemikiran Abu Hanifah. Ia mempelajari dan meriwayatkan kitab al-Fiqh al-Akbar yang dinisbatkan pada Abu Hanifah dan risalah-risalah kecil yang dikarang oleh fuqoha mazhab Hanafi seperti Ar Risalah, Al Fiqh Al Absath, Kitab Al Ilmi wa Al Muta’alim dan Washiyah. Kitab-kitab tersebut menjelaskan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang benar, namun masih tanpa disertai dalil dan pembuktian. Baru ditangan al-Maturidi muncul karya-karya yang mengupas akidah Abu Hanifah dengan disertai dalil serta pembuktian akal.[7]
Literatur ajaran-ajaran Imam al Maturidi tidak sebanyak literatur mengenai ajaran-ajaran Asy’ariyah. Buku-buku yang banyak membahas soal sekte-sekte seperti buku asy-Syahrastani, Ibnu Hazm, al-Baghdadi, dan lain-lain, tidak memuat karangan-karangan tentang al-Maturidi. Karangan-karanganya seperti at-Tauhidndan kitab Ta’wil al-Quran dan lainya, masih belum dicetak dan masih tetap dalam bentuk MSS (Makhtutat). [8]  


3C.      Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara
Samarkand dan Bukhara merupakan dua kota besar yang berada di wilayah Ma Wara An Nahar. Sekarang wilayah tersebut berada kurang lebih terletak disekitar Uzbekistan, Turkmenistan, Kazakstan dan Afghanistan. Di Samarkand dan Bukhara berkembang pesat mazhab Abu Hanifah yang lebih mengedepankan ra’yu. Sangat terasa sekali corak pemikiran Abu Hanifah dalam pendapat para ulama di wilayah ini. Dan di Samarkand inilah al-Maturidi lahir dan besar menjadi seorang tokoh. Pada masanya, al-Maturidi berjuang keras menolak pemikiran liberal Mu’tazilah dengan cara berdiskusi, berdebat, dan membuat karya-karya yang menjelaskan kesalahan-kesalahan paham tersebut.[9]
Tokoh yang sangat penting dari aliran Al-Maturidiyah ini adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Badzawi  yang lahir pada tahun 421 Hijriyah dan meninggal pada tahun 493 Hijriyah. Ajaran-ajaran al-Maturidi yang  dikuasainya adalah karena neneknya adalah murid dari al-Maturidi. Al-Badzawi   sendiri   mempunyai   beberapa   orang   murid,   yang   salah  satunya adalah Najm al-Din  Muhammad  al-Nasafi  (460-537   H),  pengarang buku al-‘Aqa’idal Nasafiah. Seperti al-Baqillani dan al-Juwaini, al-Badzawi tidak pula selamanya  sepaham dengan al-Maturidi. Antara kedua pemuka aliran Maturidiyah  ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yaitu golongan Samarkand yang mengikuti paham-paham  Al-Maturidi dan golongan Bukhara yang mengikuti paham-paham al-Badzawi yang mempunyai pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat Al-asy’ary.
Aliran   Maturidiyah  Bukhara lebih dekat  kepada  Asy'ariyah  sedangkan   aliran Maturidiyah Samarkand   dalam   beberapa hal   lebih   dekat   kepada Mutazilah,terutama dalam  masalah  keterbukaan   terhadap peranan akal. Namun walaupun sebagai aliran maturidiyah. Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan maturidi.Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh sebagin umat Islam yang  bermazab Hanafi. Dan pemikiran-pemikiran maturidiyah sampai sekarang masih hidup  dan berkembang dikalangan umat Islam.[10]
Dalam perkembanganya, terjadi sedikit perbedaan pendapat antara ulama Maturidiyah Samarkand dan Bukhara. Beberapa diantaranya adalah dalam persoalan Iman, apakah mahkluk ataukah tidak?. Kelompok samarkand mengatakan bahwa iman adalah mahkluk, sedangkan kelompok Bukhara menyatakan tidak. Bila iman adalah mahkluk, menurut ulama Bukhara maka akan membawa pengertian kalam Allah juga mahkluk. Namun perbedan ini muncul setelah kedua kedua kelompok ini sepakat bahwa semua perbuatan manusia adalah diciptakan (mahkluk) oleh Allah.
Perbedaan selanjutnya adalah masalah perbuatan manusia. Kelompok Maturidiyah Samarkand dalam hal ini hampir mirip dengan pemikiran Mu’tazilah. Daya dan kehendak manusia menurut kelompok ini adalah dalam arti sebenarnya, bukan arti kiasan. Perbedaan dengan Mutazilah adalah daya untuk berbuat tersebut menurut kelompok ini diciptakan bersamaan dengan wujudnya perbuatan manusia, tidak diciptakan sebelumnya. Daya yang demikian ini porsinya lebih kecil bila dibandingkan daya menurut Mu’tazilah. Jadi peran manusia menurut kelompok Samarkand tidak sebebas dan seluas menurut paham Mu’tazilah yang meniadakan campur tangan tuhan sama sekali. Maturidiyah Bukhara dalam hal ini sama dengan Samarkand. Hanya saja kelompok ini menambahkan sedikit, bahwa dalam perbuatan manusia terdapat dua daya. Dalam istilah Asyariyah disebut dengan kasb dan fi’lu. Manusia tidak memilliki kekuasaan sama sekali dalam menjalankan daya ini, tuhanlah sang pencipta dan manusia hanya menjalankan perbuatan yang diciptakan tuhan baginya.[11]
4D.      Perbandingan Pemikiran Maturidiyah dan Asy'ariyah
Dalam pemikiran teologinya, al-Maturidi mendasar pada al-Quran, al-Hadis, dan akal. Dalam hal ini, ia sama dengan al-Asyari namun porsi yang diberikan kepada akal lebih besar daripada yang diberikan oleh al-Asyari. Ini dikarenakan sebagai pengikut mazhab Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaanya, al-Maturidi banyak juga memakai akal dalam sistem teologinya.[12]
1). Kedudukan Akal Dalam Mengenal Allah SWT.
Asy’riyah: akal tidak memiliki kedudukan (otoritas) untuk mengetahui kewajiban bersyukur kepada Dzat yang memberikan nikmat, atau kewajiban beriman kepada Allah SWT. Dan beribadah kepada-Nya. Untuk mengetahui siapa Tuhan, hanya bisa diketahui dengan terutusnya para Rasul dan dari kabar yang mereka bawa.
Maturidiyah: akal memiliki kedudukan untuk menemukan siapakah Tuhan?. Secara naluriyah akal juga mampu untuk menyadari keharusan untuk bersyukur kepada Allah SWT, (tanpa melalui Rasul dan Nabi). Akan tetapi akal tidak mampu mengetahui hukum taklifi (pembebanan) akan hal tersebut dengan sendirinya tanpa adanya tuntutan dari para Rasul SAW. Sehingga, meski akal memiliki peranan, namun kewajiban yang bersifat pekerjaan tidak datang kecuali dari Dzat yang memberi kewajiban (kewajiban untuk berbuat sesuatu bukanlah hukum akal). 
Dengan demikian antara keduanya bertemu dalam satu keyakinan yaitu:
a). Akal tidak mungkin menjadi sumber hukum syar’i.
b). Hukum syar’i hanya akan muncul dan bersumber dari Allah SWT semata.
c). Setiap manusia yang tidak tersampaikan dakwah padanya mengenai hukum Allah SWT, melalui utusan-Nya, maka ia tidak ter-taklifi (terbebani) atas sesuatu apapun dari hukum Allah SWT, walaupun akal menemukan dan mengerti bagaimana seharusnya.[13]    
2). Kaitan antara perbuatan Allah SWT, dengan hikmah dan ‘ilat al-ghayah (maksud dan tujuan)
     Al-Asyariyah: golongan ini berpendapat bahwa semua pekerjaan Allah SWT, tidak tergantung pada satu alasan atau berkaitan dengan sebuah tujuan, seperti setiap apa apa yang Allah SWT, lakukan pasti berada dalam lingkup kemaslahatan.
     Al-Maturidiyah: memandang bahwa Allah SWT, adalah Dzat yang bersih dan terbebas dari sifat bermain-main (tidak ada hikmah), maka setiap hukum yang ditetapkan Allah SWT, selalu berjalan berkenaan dengan hikmah, karena Allah SWT, adalah Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Mengetahui. Meskipun golongan ini mengatakan bahwa Allah SWT, menghendaki adanya hikmah disetiap perbuataNya dalam mewujudkan mahkluk dan membebani hambaNya dengan taklif, hanya saja Allah SWT, tidaklah terpaksa dan wajib atas terwujudnya hikmah-hikmah tersebut.
     Dari penjelasan kedua kelompok tersebut dapat diperoleh titik temu kaitanya mengenai perbuatan Allah SWT, terhadap mahklukNya.
a). Kedua golongan ini sepakat menetapkan bahwa semua pekerjaan Allah SWT, selalu terkandung hikmah didalamnya.
b).Keduanya sepakat atas bersih dan terbebasnya Allah SWT, dari sifat ketergantungan terhadap sebuah tujuan yang dapat membebani Allah SWT, dalam berbuat serta tidak memiliki jalan lain menuju tujuan itu kecuali dengan melakaukana pekerjaan tersebut.[14]
3). Sifat Tuhan
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, terdapat persamaan antara pemikiran al-Maturidi dan Al-Asyari. Keduanya berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti wujud, qidam, sama’, bashar, kalam, dan sebagianya. Walaupun begitu, pengertian Al-Maturidi mengenai sifat Tuhan berbeda dengan al-Asyari. Al-Asyari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan Dzat, melainkan melekat pada Dzat itu sendiri, sedangkan al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu Mulzmah (ada bersama) dzat tanpa terpisah.[15]
4). Meyakini Kalam Allah Adalah Qadim
       Baik Al-Maturidi dan Al-Asyari membagi kalam menjadi dua, kalam abstrak (nafsi) dan kalam yang tersusun dari huruf dan suara (lafdzi). Kalam Allah nafsi bersifat qadim dan tidak berupa huruf dan suara sebagaimana mahkluk. Sedang huruf-huruf Arab yang tertulis dalam mushaf al-Quran hanyalah sebagai perantara kalam Allah yang qadim agar dapat dipahami mahkluk-Nya.
       Dalam persoalan al-Quran mahkluk atau bukan, terjadi perbedaan antara tiga kelompok. Mu’tazilah yang sejak awal mengingkari wujudnya sifat diluar dzat Allah secara keras menyatakan al-Quran adalah mahkluk dan mereka tidak mengakui kalam nafsi. Ulama-ulama pengikut al-Asyari berbeda, menurut mereka al-Quran adalah kalam Allah dan bukan mahkluk. Mereka tidak secara jelas menyatakan al-Quran adalah qadim. Al-Maturidi berpendapat bahwa kalam Allah adalah sifat yang melekat pada dzat Allah. Sehingga kalam Allah bersifat qadim karena dzat Allah itu sendiri qadim. Kalam Allah tidak berupa huruf dan kalimat, karena huruf dan kalimat adalah sesuatu yang baru (hadis) dan sangat tidak layak berada pada dzat Allah yang qadim. Dari sini terlihat sekali bahwa antara al-Asyari dan al-Maturidi sama-sama berkeyakinan bahwa kalam Allah nafsi adalah qadim.[16]
5). Meyakini Melihat Allah
       al-Maturidi dan al-Asyari meyakini bahwa Allah bisa dilihat dihari kiamat berdasar pada beberapa ayat al-Quran, diantaranya.
وجوه يومئذ ناضرة الى ربها ناظرة
       Mu’tazilah berpendapat lain. Melihat Allah akan membawa pada anthropomophormisme, karena sesuatu yang dilihat pasti akan berada dalam satu tempat. Dan Allah mustahil berada pada satu tempat.
       al-Maturidi dan al-Asyari memasukan persoalan ru’yah ini dalam kejadian-kejadian di hari kiamat (ahwal yaum Al Qiyamah). Dan segala proses dan tata cara kejadian dihari kiamat hanya khusus bagi ilmu Allah yang mengetahuinya. Sedang mahkluk Allah tidak ada yang mengetahui proses, bentuk dan tata caranya. Kecuali hanya nash-nash al-Quran yang menunjukan adanya hal itu. Dan ini wajib diyakini meskipun tidak tahu hakikat atau proses melihat Allah itu sebenarnya.
       Bila dicermati, terlihat sekali bahwa Mu’tazilah mengesampingkan ayat-ayat al-Quran demi memenangkan logika berfikir mereka yang dirasa benar. Sedang al-Maturidi dan al-Asyari benar-benar tunduk pada nash yang secara jelas menetapkan persoalan ru’yah ini dan mengembalikan pada Allah tentang cara-cara ru’yah tersebut. Hal ini merupakan ciri khas dari ulama salaf.[17]
6). Status Pelaku Dosa Besar
       al-Maturidi dan al-Asy’ari sepakat menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidaklah kafir dan tidak kekal di neraka. Hukuman kekal dineraka adalah hanyalah untuk dosa terbesar, yaitu kufur. Dosa-dosa selain kufur masih dibawah derajat kufur. Bila Allah memberi hukuman pelaku dosa besar sama dengan hukumsn orang kafir maka hukuman tersebut akan melebihi kadar dosa pelakunya. Ini adalah perbuatan dzalim yang mustahil bagi Allah dan tidak sesuai dengan janji-Nya.
       Dalam hal ini, Al-Maturidi dan Al-Asyari menyatakan pendapat yang benar mengenai orang-orang mukmin yang melakukan dosa besar adalah menyerahkan sepenuhnya pada Allah. Bila dikehendaki oleh-Nya maka segala dosanya akan diampuni dengan anugrah (fadl), kebaikan (ihsan), dan kasih sayang (rahmat). Dan bila tidak dikehendaki maka akan disiksa sesuai dengan kadar dosanya dan tidaklah kekal di neraka, sehingga orang yang beriman berada diantara harapan (raja’) dan kekhawatiran ( khauf). Allah berhak untuk mengampunni pelaku dosa besar namun tetap menyiksa pelaku dosa kecil. Sebagiamana disebutkan dalam Al-Quran.
إن الله لايغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء. ومن يشرك فقد إفترى إثما عظيما.
       Sungguh Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia akan mengampuni dosa selainya bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang telah menyekutukan Allah maka dia telah berbuat dosa yang amat besar. (Q.S an-Nisa’: 48).[18]
7). Meyakini Syafa’at Rosul
       al-Maturidi dan al-Asyari dengan berlandaskan Al-Quran dan Hadis berkeyakinan bahawa Nabi Muhammad SAW, diberi kemampuan untuk memberikan syafa’at di hari kiamat. Dan syafa’at ini tidak akan terjadi kecuali mendapatkan ridha dari Allah. Dan orang-orang kafir tidak termasuk golongan yang akan mendapatkan syafaat rasul. Pendapat ini berada di tenga-tengah antara kaum Syi’ah Rafidhah dan Mu’tazilah. Kelompok Rafidhah meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW, dan sahabat Ali memiliki kemampuan meberikan syafaat tanpa harus ada izin dari Allah. Sehingga, meskipun memberikan syafaat pada orang-orang kafir tetap diterima. Sedang Mu’tazilah meniadakan sama sekali syafaat dari rasul karena bertentangan dengan konsep Al Wa’du wa Al Waid mereka.[19]
8). Kasb Versi Al-Asyari dan Kasb Versi Al-Maturidi
   Tentang perbuatan manusia, Al-Asyari menggunakan teori yang dikenal dengan istilah Al-Kasb. Al-Kasb secara bahasa memiliki makna thalabah ( menuntut atau mencari) dan ridha (mengusahakan atau memperoleh). Jadi, kasb memiliki pengertian adanya keaktifan pada diri pelaku (manusia). Al-Asyari mengatakan bahwa Al-Kasb sendiri mengandung makna kasb Al-‘ibad makhlukot lillah, dalam arti, kasb merupakan terjadinya perbuatan dengan adanya daya yang baru (qudrah muhadasah). Dari sini bisa disimpulkan bahwa pendapat al-Asyari mengenai perbuatan manusia sama dengan pendapat ulama Ahlissunnah yang lain, yaitu adanya peran manusia dalam perbuatanya namun tidak sampai menyamai derajat Tuhan yang telah menciptaka peran tersebut. Argumen-argumen ini dikuatkan dengan firman Allah Q.S As-Shoffat: 96.
والله خلقكم وما تعملون
Oleh Al-Asyari kata ta’malun diartikan “yang kamu perbuat” bukan “yang kamu buat”. Jadi ayat diatas mempunyai makna “ Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu buat”, sehingga Al-Asyari menyimpulkan perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan.
Kesimpulan teori kasb al-Asy’ari sebagaimana yang diungkapkan al Fayumi, adalah keterkaitan antara perbuatan yang merupakan ciptaan Allah dan ikhtiyar manusia. Dengan sudut pandang, manusia sama sekali tidak berperan pada hasil kasb tersebut, bahkan kasb tersebut secara hakikat merupakan ciptaan Allah.[20]
Pada masalah kasb al-Maturidi tidak mengungkapkan panjang lebar, sebab dalam pandangan al-Maturidi mengenai kasb sejalan dengan al-Asyari. Namun metode al-Maturidi sedikit berbeda dengan yang disampaikan al-Asyari, pemikiran l-Maturidi sedikit cenderung sama dengan mu’tazilah, terutama pada persoalan kasb yang disampaikan al-Asyari. Dia berpendapat bahwa munculnya kasb karena sebuah daya yang dititipkan Allah kepada manusia, sehingga pendapat ini memberikan pemahaman peran lebih pada kebebasan manusia dalam menjalankan perbuatanya dengan daya yang dimilikinya dan memiliki kemampuan untuk mengabaikan perbuatanya dengan dengan daya tersebut. Pendeknya, manusia memiliki kemerdekaan penuh pada kasb ini, jika dia menghendaki makan akan dikerjakan dan jika enggan melakukan perbuatan makan, maka akan ditinggalkanya. Dengan demikian sangat rasional jika pahala dan siksaan diterapkan pada manusia
Perbedaan kasb al-Asy’ari dan al-Maturidi adalah terletak pada penempatan daya manusia. Jika al-Maturidi mengatakan daya merupakan titipan yang bersifat abadi sehingga menimbulkan kebebasan mutlak pada perbuatan manusia sesuai kehendaknya, sedang al-Asyari lebih cenderung daya tersebut ada ketika perbuatan muncul atau tidak bersifat abadi, sehingga jika perbuatan yang diciptakan itu belum muncul, secara otomatis manusia tidak memiliki daya sama sekali.
Dari uaraian diatas, sangat layak jika para ulama menganggap teori tersebut tidak jauh berbeda. Meskipun al-Maturidi berpandangan bahwa manusia memiliki pengaruh. Tapi pengaru (ta’tsir) ini tetap tidak berfungsi tanpa ada peran dari Allah. Hanya saja dalam konteks ini al-Maturidi memberi peran aktif manusia meskipun masih dibawah bayang-bayang kekuasaan Tuhan. Sehingga masih tetap Allah lah yang sangat berperan dalam perbuatan manusia. Dengan demikian ksimpulan terakhir dari titik temu kedua teori tersebur adalah keduanya sama-sama sepakat bahwa perbuatan manusia adalah diciptakan oleh Allah.[21]
9). Masalah Manhaj Teologi
      Para ulama dan peneliti sepakat bahwa manhaj (metode) yang digunakan al-Asyari dan al-Maturidi dalam menyusun akidah adalah pertengahan antara pemahaman aql dan naql. Keduanya menjadi penengah antara kaum penganut akal liberal seperti mu’tazilah dan golongan tekstualis lainya. Pendeknya, keduanya sama-sam memiliki sikap yang moderat (tawassut) dan berusaha keras untuk membentengi akidah Islam di masa itu yang mengalami kekaburan.[22]  
     Dari keterangan pemikiran-pemikiran Abu Manshur al-Maturidi yang dibandingkan dengan pemikiran al-Asyari, maka dapat ditarik beberapa poin penting diantaranya adalah:
a). Abu Manshur Al-Maturidi meyakini adanya kebebasan peran akal dalam mengenal dan menggali hukum-hukum dari Allah, namun porsi akal dalam hal ini tetap berada di bawah ketentuan hukum syar’i.
b). Kaitanya dengan perbuatan Allah Al-Maturidi menetapkan bahwa semua pekerjaan Allah SWT, selalu terkandung hikmah didalamnya dan  sepakat atas bersih dan terbebasnya Allah SWT, dari sifat ketergantungan terhadap sebuah tujuan yang dapat membebani Allah SWT,
c). Abu Manshur al-Maturidi meyakini adanya sifat-sifat pada Tuhan
d). Al-Maturidi juga menganggap bahwasanya kalam Allah adalah bersifat qadim, yaitu yang dimaksud dengan kalam lafdzi.
e). Kaitanya dengan melihat Tuhan, al-Maturidi berkeyakinan bahwa kelak dihari kiamat orang-orang yang beriman akan dapat melihat Tuhan mereka.
f). Status dosa besar yang di ampu oleh orang-orang yang beriman akan tetap mendapatkan siksa di neraka sesuai dengan perbuatanya, namun tidak menjadikanya kekal di neraka.
g). Meyakini adanya syafaat rasul di hari kiamat nanti bagi hamba-hambanya yang beriman.
h). Abu Manshur al-Maturidi meyakini bahwa perbuatan manusia adalah diciptakan oleh Allah SWT.
i). Metode (manhaj) yang digunakan oleh Abu Manshur Al-Maturidi adalah tawassut atau moderat, yaitu dengan mengedepankan aql dan naql.





















BAB III
KESIMPULAN

            Abu Manshur al-Maturidi adalah salah satu ulama yang mengaut paham mazhab Imam Abu Hanifah. Dia dilahirkan di kota Samarkahand yang sekarang wilayah tersebut terletak di daerah sekitar negara Uzbekistan. Al-Maturidi menjadi salah satu ulama yang sangat disegani pada masanya, sehingga banyak orang-orang yang mengikuti jalan pemikiranya yang sesuai dengan ulama salaf. Para pengikut Al-Maturidi disebut dengan al-Maturidiyah yang sebagian besar penganut paham mazhab Imam Abu Hanifah.
             Jika membahas mengenai pemikiran al-Maturidi maka tidak akan terlepas dari pemikiran al-Asyari, mengingat kedua ulama tersebut dijadikan sandaran Ahlussunnah wal Jama’ah dalam kaitanya akidah. Mengingat nalar pemikiran keduanya sejalan dan selaras walaupun terdapat sedikit perbedaan diantara keduanya, namun secara pokok akidah adalah sama.
            al-Asyari dan al-Maturidi hidup dalam satu periode, meski keduanya tidak berkumpul dalam satu wilayah, dan sejarah juga tidak secara jelas menyebutkan apakah keduanya pernah bertemu atau tidak. Al-Asyari hidup di Basrhah, salah satu kota diwilayah Irak yang menjadi pusat perkembangan gerakan Mu’tazilah. Perdebatan dan benturan sering terjadi di wilayah ini. Sedang al-Maturidi hidup agak jauh dari Irak, tepatnya dikota Maturid, propinsi Samarkand yang jauh dari pusat gerakan Mu’tazilah. Namun pada hakikatnya wilayah Samarkand juga tidak lepas dari pengaruh gerakan Mu’tazilah.
            Baik al-Maturidi dan al-Asyari memiliki lawan yang sama, yaitu Mu’tazilah dan kelompok tekstualis yang benar-benar fanatik pada dzahir sebuah teks. Inilah agaknya yang menjadikan konsep teologi keduanya tidak jauh berbeda. Tapi keduanya juga tidak terlepas dari perbedaan pemikiran. Namun banyak ulama yang mengatakan perbedaan keduanya tidak signifikan. Bahkan Muhammad Abduh menyatakan bahwa perbedaan keduanya tidaklah lebih dari sepuluh masalah, dan perbedaanya hanya seputar teks saja, artinya secara prinsip tetaplah sama.   






DAFTAR RUJUKAN


Hanafi, Ahmad. Theology Islam.Jakarta: Pustaka Al-Husna 1992
Huda, Nuril.  Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) Menjawab Persoalan Tradisi dan Kekinian. Jakarta Pusat: PP Lembaga Dakwah NU (LDNU). 2007
Razak, Abdul dan Rosihon Anwar.  Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia. 2010
Tim Karya Ilmiah Lirboyo 2008. Aliran-Aliran Teologi Islam. Kediri: Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo. 2008
Tim Karya Ilmiah Lirboyo 2007. Polaritas Sekterian. Kediri: Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo. 2007
Forum Kajian Ilmiah Angkatan 2014. Potret Ajaran Nabi Muhammad Dalam Sikap Santun Akidah NU. Kediri: Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo. 2014
Wiyani, Novan Ardy. Ilmu Kalam. Yogyakarta: Teras, 2013


[1]Tim Karya Ilmiah Lirboyo 2008, Aliran-Aliran Teologi Islam, (Kediri: Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo, 2008), hal.242
[3]Ibid..,hal.243
[4]A. Hanafi, Theology Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992), hal.133-134
[5]Tim Karya Ilmiah Lirboyo 2007, Polaritas Sekterian, (Kediri: Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo, 2008), hal.42
[6]Tim Karya Ilmiah Lirboyo 2008, Aliran-Aliran.., hal. 243
[7]Tim Karya Ilmiah Lirboyo 2008, Aliran-Aliran.., hal.244
[8]Nuril Huda, Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) Menjawab Persoalan Tradisi dan Kekinian, (Jakarta Pusat: PP Lembaga Dakwah NU (LDNU), 2007), hal. 182
[9]Ibid..,hal. 245
[11]Tim Karya Ilmiah Lirboyo 2008, Aliran-Aliran.., hal.246
[12]Novan Ardy Wiyani, Ilmu Kalam, (Yogyakarta: Teras, 2013), hal.176
[13]Forum Kajian Ilmiah Angkatan 2014, Potret Ajaran Nabi Muhammad Dalam Sikap Santun Akidah NU, (Kediri: Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo, 2014), hal. 24  
[14]Forum Kajian Ilmiah Angkatan 2014, Potret Ajaran Nabi Muhammad.., hal.26 
[15]Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 128
[16]Tim Karya Ilmiah Lirboyo 2008, Aliran-Aliran.., hal.247-248
[17]Tim Karya Ilmiah Lirboyo 2008, Aliran-Aliran.., hal. 249
[18]Tim Karya Ilmiah Lirboyo 2008, Aliran-Aliran.., hal. 252 
[19]Ibid.., hal. 252
[20]Tim Karya Ilmiah Lirboyo 2008, Aliran-Aliran.., hal. 263 
[21]Ibid.., hal.260-265
[22]Ibid.., hal. Hal 272



Nama Anda
New Johny WussUpdated: Oktober 05, 2017

0 komentar:

Posting Komentar

CB