KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
Wr.Wb.
Bismillahirrahmaanirrahiim
Tiada tempat
untuk mengucapkan puji syukur atas
terselesaikannya penulisan makalah studi “Sejarah Pemikiran Islam” kecuali hanya
kepada Allah SWT. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, yang
telah memberikan penerangan ilmu pengetahuan kepada umatnya.
Tiada keberhasilan yang diperoleh penulis tanpa adanya bantuan dari pihak lain. Karena itu, pada kesempatan ini izinkan penulis
menyampaikan
penghargaan dan
rasa terimakasih kepada:
1 1. Bapak Dr. Maftukhin M.Ag, selaku rektor IAIN Tulungagung.
2. Bapak Prof. Dr. H. Achmad Patoni, M.Ag, selaku direktur Pascasarjana IAIN Tulungagung.
3. Bapak Dr.Ngainun Naim,M.H.I, selaku dosen mata kuliah Sejaraah Pemikiran Islam
4. Teman-teman yang telah berpartisipasi dalam penyelesaian makalah ini.
2. Bapak Prof. Dr. H. Achmad Patoni, M.Ag, selaku direktur Pascasarjana IAIN Tulungagung.
3. Bapak Dr.Ngainun Naim,M.H.I, selaku dosen mata kuliah Sejaraah Pemikiran Islam
4. Teman-teman yang telah berpartisipasi dalam penyelesaian makalah ini.
Namun dengan keterbatasan
penulis, maka penulisan makalah ini amatlah jauh dari kesempurnaan serta mutu yang diharapkan,
meskipun semua itu telah penulis upayakan secara maksimal. Untuk itu kritik dan
saran yang membangun dari pembaca selalu penulis harapkan.
Harapan penulis semoga amal baik yang telah diberikan oleh pihak-pihak
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini memperoleh balasan
yang berlipat ganda dari Allah SWT. Penulis berdo’a semoga makalah Sejarah Pemikiran Islam ini diridhai Allah dan dapat bermanfaat bagi penulis dan semua
pihak yang membacanya.
Wassalamu’alaikumwr.wb.
Tulungagung, November 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pendahuluan
Untuk memahami konsep agama yang
masih murni, global, abstrak, yang tertuang dalam Al-Quran dan Hadis yang dapat
diinterprestasikan dengan berbagai interprestasi ketika memahami dalil-dalilnya,
tidak cukup dipahami secara nalar atau mengandalkan akal. Akan tetapi, juga
membutuhkan kejernihan hati yang tanpa didasari oleh hawa nafsu atau ambisi
belaka, dan yang paling penting adalah suatu pemahaman yang sesuai dengan apa
yang dikehendaki Allah SWT.
Dalam perkembanganya, sejarah
pemikiran teologi Islam banyak memunculkan kelompok-kelompok dan aliran
tertentu yang mengklaim dirinya atau kelompoknya yang paling benar. Setiap
kelompok mencoba menawarkan konsep ideologi yang berkaitan dengan teologi,
ahklak, maupun konsep syari’at yang berbeda satu sama lain. Hal ini menyebabkan
kebingungan bagi orang awam untuk menentukan manakah kelompok yang benar dan
yang salah, pasalnya setiap kelompok atau aliran mengklaim dirinya paling
benar.
Dalam makalah ini, penulis akan
menyajikan pembahasan mengenai salah satu aliran yang berkembang sebagi bentuk
penolakan terhadap pemikiran orang-orang atau kelompok yang ingin berusaha
merusak tatanan syari’at yang telah
dirumuskan oleh ulama’ salaf. Kelompok yang dimaksud adalah al-Maturidiyah yang
di pelopori oleh Abu Manshur Al-Maturidi. Sedangkan sekelompok orang-orang yang
mengikuti konsep pemikiran Abu Mansur Al-Maturidi ini disebut Aliran al-Maturidiyah.
Menarik untuk dikaji, bahwasanya
antara aliran Al-Maturidiyah dan Al-Asyariah merupakan aliran yang dijadikan
sebagai sandaran bagi Ahluss Sunah Wal Jama’ah dalam kaitanya pemahaman konsep
ketuhanan atau teologi. al-Maturidiyah yang dipelopori oleh Mansur al-Maturidi layak
untuk dijadikan sebagai sandaran konsep teologi, mengingat dalam pemikiranya
sangat didasarkan atas pemahaman-pemahaman ulama’ salaf yang jika diruntut akan
sampai pada Nabi Muhammad saw, serta memiliki bentuk pemikiran yang sejalan
dengan Abu Hasan al-Asy’ari.
B.
Rumusan Masalah
1.
Siapakah Abu Mansur al-Maturidi ?
2.
Apa saja karya-karya Abu Mansur al-Maturidi ?
3.
Apakah pengertian Al-Maturidiyah samarkand dan al-Maturidiyah
Bukhara?
4.
Apa persamaan dan perbedaan pemikiran Abu Mansur al-Maturidi dengan
Abu Hasan al-Asyari?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mendeskripsikan siapakah
Abu Mansur al-Maturidi.
2.
Untuk mendeskripsikan
karya-karya Abu Mansur al-Maturidi.
3.
Untuk mendeskripsikan pengertian al-Maturidiyah samarkand dan al-Maturidiyah
Bukhara.
4.
Untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan pemikiran Abu Mansur
al-Maturidi dengan Abu Hasan al-Asyari?
BAB II
PEMBAHASAN
1A.
Profil Abu Mansur Al-Maturidi
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn
Muhammad ibn Mahmud, yang dikenal dengan sebutan Abu Manshur al-Maturidi. Sejarawan
kesulitan dalam melacak kelahiran dan masa kecilnya. Abu Zahrah mengatakan,
kelahiranya dipertengahan abad ke-3 H tepat setelah tragedi Mihnah. Al-Maturidi
lahir di distrik Maturid, yang termasuk bagian dari kota Samarkand. Samarkand
adalah salah satu dari kota besar di wilayah Ma Wara an-Nahr. Wilayah ini
kurang lebih sekarang terletak disekitar Uzbekistan. Dari Maturid inilah
namanya dinisbatkan.[1]
Tahun kelahirannya
tidak diketahui pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3
hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. al-Maturidi hidup pada masa khalifah
al-Mutwakil yang memerintah pada tahun 232-274 H/847-861 M.[2]
Al-Maturidi lebih dikenal dengan
pemikir mazhab Hanafi, bahkan dia sebagai tokoh utama ilmu kalam dalam mazhab
tersebut. Al-Maturidi mengenal ilmu kalam dari gurunya Nashr bin Yahya Al-Balkhi
(wafat 268). Sebelumnya, kota tempat dia tinggal dikenal sebagai pusat diskusi
fiqih dan Ushul fiqih antara mazhab Syafi’i dan Hanafi, setelah beberapa tahun
kemudian, tepatnya setelah tragedi Mihnah memuncak, berbalik menjadi
pusat diskusi ilmu teologi.
Pada masa itu, al-Maturidi termasuk
sosok berpengaruh dalam persoalan ilmu teologi. Keahlianya ini terbukti ia
pernah mendapatkan 22 kali undangan diskusi dalam satu tempo di kota Basrah.
Konsentrasi al-Maturidi beralih dari fiqih menuju ilmu kalam karena tuntutan
situasi ketika itu dengan memandang perlunya berjuang meredam hujatan-hujatan
dari kelompok yang ingin mendobrak tatanan yang telah dirumuskan ulama’ salaf,
dia berinisiatif mengedepankan ilmu teologi dan diskusi (munadzarah) sebagai
usaha protektif terhadap mazhab salaf yang merupakan embrio munculnya
Ahlussunnah Wal Jama’ah.[3]
Menurut para ulama-ulama Hanafiah,
hasil pemikiran al-Maturidi dalam bidang aqidah sama benar dengan
pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah sebelum terjun ke dalam
lapangan fiqih dan menjadi tokohnya, telah lama bekecimpung dalam lapangan
aqidah serta banyak pula mengadakan polemik dan perdebatan seperti yang
dikehendaki oleh suasana zamanya, dan salah satu buah karyanya dalam lapangan
aqidah adalah bukunya yang berjudul “Al-Fiqhul Akbar”. Pertalian antara kedua
tokoh tersebut dikuatkan oleh pengakuan Al-Maturidi sendiri, bahwa ia menerima
dan mempelajari buku-buku Abu Hanifah dengan suatu silsilah nama-nama yangg
dimulai dari gurunya dan seterusnya sampai kepada pengarangnya sendiri. Kebanyakan
ulama-ulama Maturidiyah terdiri dari orang-orang pengikut aliran fiqih
Hanafiah, seperti Fachruddin Al-Bazdawi, At-Taftazani, An-Nasa’i, Ibnul Hammam
dan lainya.[4]
Perlu diketahui, bahwasanya tidak
semua pengikut aliran Hanafiah mengikuti pemikiran akidah Al-Maturidi,
melainkan juga ada yang mengikuti pemikiran As-Asyariyah. Menurut Al-Iz
Abdussalam pernah berkomentar bahwasanya akidah Abu Hasan Al-Asyari telah
disepakati oleh para pengikut mazhab Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah, dan
pembesar mazhab Hanbalah, diantaranya adalah Abu Amr bin Hajib sebagai pemuka
mazhab Malikiyah, Jamaluddin Al-Hushoiri sebagai pemuka mazhab Hanafiyah, dan
Taqiyudin As-Subki.[5]
Dari keterangan tersebut, dapat
diketahui bahwasanya al-Maturidi merupakan seseorang penganut mazhab Hanafiah
yang latar belakang pemikiranya muncul akibat dari ketidaksepahaman dengan
kelompok-kelompok yang berusaha merusak tatanan akidah yang telah dirumuskan
oleh ulama salaf, kelompok yang dimaksud adalah Mu’tazilah. Al-Maturidi sendiri
bukanlah orang yang berasal dari kelompok Mu’tazilah sebagaimana Al-Asy’ari.
Sebagaimana kebiasaan ulama-ulama
salaf lainya, al-Maturidi memiliki guru lebih dari satu. Namun dari beberapa
gurunya, ternyata mata rantai ilmiah Al-Maturidi berujung pada Imam Abu
Hanifah. Disebutkan oleh Kafawi, sebagaimana dinukil oleh Al-Fayumi bahwa
rantai ilmiah Al-Maturidi ialah bermula dari Abu Nasr Al Iyadhi yang merupakan
murid dari Abu Bakar Ahmad Al-Jauzijani. Guru dari Abu Bakar adalah Abu
Sulaiman Al-Jauzajani dan merupakan murid dari syekh Muhammad Ibn Hasan. Syekh
Muhammad adalah murid langsung dari Imam Abu Hanifah.[6]
2B.
Karya-karya Abu Mansur Al-Maturidi
Seperti yang telah dilakukan
al-Asyari, al-Maturidi juga membuat karya sebagai wujud usahanya membentengi
akidah salaf, seperti Bayan Wahmil Mu’tazilah, Rad Al-Ushul al-Khomsah li
Abi Muhammad Al-Bahili, Rad Awa’il Al Adilah li Al Ka’bi dan Rad Tahdzib
Al Jadl li Al Ka’bi, keempat-empatnya sebagai bentuk penentanganya terhadap
Mu’tazilah yang muncul di Samarkand.
Karya-karya al-Maturidi sangat
kental sekali dengan corak pemikiran Abu Hanifah. Ia mempelajari dan
meriwayatkan kitab al-Fiqh al-Akbar yang dinisbatkan pada Abu Hanifah dan
risalah-risalah kecil yang dikarang oleh fuqoha mazhab Hanafi seperti Ar
Risalah, Al Fiqh Al Absath, Kitab Al Ilmi wa Al Muta’alim dan Washiyah.
Kitab-kitab tersebut menjelaskan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang benar,
namun masih tanpa disertai dalil dan pembuktian. Baru ditangan al-Maturidi
muncul karya-karya yang mengupas akidah Abu Hanifah dengan disertai dalil serta
pembuktian akal.[7]
Literatur ajaran-ajaran Imam al
Maturidi tidak sebanyak literatur mengenai ajaran-ajaran Asy’ariyah. Buku-buku
yang banyak membahas soal sekte-sekte seperti buku asy-Syahrastani, Ibnu Hazm,
al-Baghdadi, dan lain-lain, tidak memuat karangan-karangan tentang al-Maturidi.
Karangan-karanganya seperti at-Tauhidndan kitab Ta’wil al-Quran dan lainya,
masih belum dicetak dan masih tetap dalam bentuk MSS (Makhtutat). [8]
3C.
Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara
Samarkand dan Bukhara merupakan dua
kota besar yang berada di wilayah Ma Wara An Nahar. Sekarang wilayah tersebut
berada kurang lebih terletak disekitar Uzbekistan, Turkmenistan, Kazakstan dan
Afghanistan. Di Samarkand dan Bukhara berkembang pesat mazhab Abu Hanifah yang
lebih mengedepankan ra’yu. Sangat terasa sekali corak pemikiran Abu Hanifah
dalam pendapat para ulama di wilayah ini. Dan di Samarkand inilah al-Maturidi
lahir dan besar menjadi seorang tokoh. Pada masanya, al-Maturidi berjuang keras
menolak pemikiran liberal Mu’tazilah dengan cara berdiskusi, berdebat, dan
membuat karya-karya yang menjelaskan kesalahan-kesalahan paham tersebut.[9]
Tokoh yang sangat
penting dari aliran Al-Maturidiyah ini adalah Abu al-Yusr Muhammad
al-Badzawi yang lahir pada tahun 421 Hijriyah dan meninggal pada tahun
493 Hijriyah. Ajaran-ajaran al-Maturidi yang dikuasainya adalah karena
neneknya adalah murid dari al-Maturidi. Al-Badzawi
sendiri mempunyai beberapa
orang murid, yang salah satunya
adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537
H), pengarang buku al-‘Aqa’idal Nasafiah. Seperti al-Baqillani dan
al-Juwaini, al-Badzawi tidak pula selamanya sepaham dengan al-Maturidi.
Antara kedua pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan paham
sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan,
yaitu golongan Samarkand yang mengikuti paham-paham Al-Maturidi dan
golongan Bukhara yang mengikuti paham-paham al-Badzawi yang mempunyai
pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat Al-asy’ary.
Aliran
Maturidiyah Bukhara lebih dekat kepada Asy'ariyah
sedangkan aliran Maturidiyah Samarkand
dalam beberapa hal lebih dekat
kepada Mutazilah,terutama dalam masalah keterbukaan
terhadap peranan akal. Namun walaupun sebagai aliran maturidiyah. Al-Bazdawi
tidak selamanya sepaham dengan maturidi.Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut
oleh sebagin umat Islam yang bermazab Hanafi. Dan pemikiran-pemikiran
maturidiyah sampai sekarang masih hidup dan berkembang dikalangan umat Islam.[10]
Dalam perkembanganya, terjadi
sedikit perbedaan pendapat antara ulama Maturidiyah Samarkand dan Bukhara.
Beberapa diantaranya adalah dalam persoalan Iman, apakah mahkluk ataukah
tidak?. Kelompok samarkand mengatakan bahwa iman adalah mahkluk, sedangkan kelompok
Bukhara menyatakan tidak. Bila iman adalah mahkluk, menurut ulama Bukhara maka
akan membawa pengertian kalam Allah juga mahkluk. Namun perbedan ini muncul
setelah kedua kedua kelompok ini sepakat bahwa semua perbuatan manusia adalah
diciptakan (mahkluk) oleh Allah.
Perbedaan selanjutnya adalah masalah
perbuatan manusia. Kelompok Maturidiyah Samarkand dalam hal ini hampir mirip
dengan pemikiran Mu’tazilah. Daya dan kehendak manusia menurut kelompok ini
adalah dalam arti sebenarnya, bukan arti kiasan. Perbedaan dengan Mutazilah
adalah daya untuk berbuat tersebut menurut kelompok ini diciptakan bersamaan
dengan wujudnya perbuatan manusia, tidak diciptakan sebelumnya. Daya yang
demikian ini porsinya lebih kecil bila dibandingkan daya menurut Mu’tazilah. Jadi
peran manusia menurut kelompok Samarkand tidak sebebas dan seluas menurut paham
Mu’tazilah yang meniadakan campur tangan tuhan sama sekali. Maturidiyah Bukhara
dalam hal ini sama dengan Samarkand. Hanya saja kelompok ini menambahkan
sedikit, bahwa dalam perbuatan manusia terdapat dua daya. Dalam istilah
Asyariyah disebut dengan kasb dan fi’lu. Manusia tidak memilliki
kekuasaan sama sekali dalam menjalankan daya ini, tuhanlah sang pencipta dan
manusia hanya menjalankan perbuatan yang diciptakan tuhan baginya.[11]
4D.
Perbandingan Pemikiran Maturidiyah dan Asy'ariyah
Dalam pemikiran teologinya,
al-Maturidi mendasar pada al-Quran, al-Hadis, dan akal. Dalam hal ini, ia sama
dengan al-Asyari namun porsi yang diberikan kepada akal lebih besar daripada
yang diberikan oleh al-Asyari. Ini dikarenakan sebagai pengikut mazhab Abu
Hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaanya, al-Maturidi
banyak juga memakai akal dalam sistem teologinya.[12]
1). Kedudukan Akal Dalam Mengenal Allah SWT.
Asy’riyah: akal tidak memiliki
kedudukan (otoritas) untuk mengetahui kewajiban bersyukur kepada Dzat yang
memberikan nikmat, atau kewajiban beriman kepada Allah SWT. Dan beribadah
kepada-Nya. Untuk mengetahui siapa Tuhan, hanya bisa diketahui dengan
terutusnya para Rasul dan dari kabar yang mereka bawa.
Maturidiyah: akal memiliki kedudukan
untuk menemukan siapakah Tuhan?. Secara naluriyah akal juga mampu untuk
menyadari keharusan untuk bersyukur kepada Allah SWT, (tanpa melalui Rasul dan
Nabi). Akan tetapi akal tidak mampu mengetahui hukum taklifi (pembebanan) akan
hal tersebut dengan sendirinya tanpa adanya tuntutan dari para Rasul SAW.
Sehingga, meski akal memiliki peranan, namun kewajiban yang bersifat pekerjaan
tidak datang kecuali dari Dzat yang memberi kewajiban (kewajiban untuk berbuat
sesuatu bukanlah hukum akal).
Dengan demikian antara keduanya
bertemu dalam satu keyakinan yaitu:
a). Akal tidak mungkin menjadi sumber hukum syar’i.
b). Hukum syar’i hanya akan muncul dan bersumber dari Allah SWT semata.
c). Setiap manusia yang tidak
tersampaikan dakwah padanya mengenai hukum Allah SWT, melalui utusan-Nya, maka
ia tidak ter-taklifi (terbebani) atas sesuatu apapun dari hukum Allah SWT,
walaupun akal menemukan dan mengerti bagaimana seharusnya.[13]
2). Kaitan antara perbuatan Allah
SWT, dengan hikmah dan ‘ilat al-ghayah (maksud dan tujuan)
Al-Asyariyah: golongan ini berpendapat bahwa semua pekerjaan
Allah SWT, tidak tergantung pada satu alasan atau berkaitan dengan sebuah
tujuan, seperti setiap apa apa yang Allah SWT, lakukan pasti berada dalam
lingkup kemaslahatan.
Al-Maturidiyah: memandang
bahwa Allah SWT, adalah Dzat yang bersih dan terbebas dari sifat bermain-main
(tidak ada hikmah), maka setiap hukum yang ditetapkan Allah SWT, selalu
berjalan berkenaan dengan hikmah, karena Allah SWT, adalah Tuhan yang Maha
Bijaksana lagi Mengetahui. Meskipun golongan ini mengatakan bahwa Allah SWT,
menghendaki adanya hikmah disetiap perbuataNya dalam mewujudkan mahkluk dan
membebani hambaNya dengan taklif, hanya saja Allah SWT, tidaklah terpaksa dan
wajib atas terwujudnya hikmah-hikmah tersebut.
Dari penjelasan kedua
kelompok tersebut dapat diperoleh titik temu kaitanya mengenai perbuatan Allah
SWT, terhadap mahklukNya.
a). Kedua golongan ini sepakat
menetapkan bahwa semua pekerjaan Allah SWT, selalu terkandung hikmah
didalamnya.
b).Keduanya sepakat atas bersih dan
terbebasnya Allah SWT, dari sifat ketergantungan terhadap sebuah tujuan yang
dapat membebani Allah SWT, dalam berbuat serta tidak memiliki jalan lain menuju
tujuan itu kecuali dengan melakaukana pekerjaan tersebut.[14]
3). Sifat Tuhan
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, terdapat persamaan antara
pemikiran al-Maturidi dan Al-Asyari. Keduanya berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat, seperti wujud, qidam, sama’, bashar, kalam, dan sebagianya.
Walaupun begitu, pengertian Al-Maturidi mengenai sifat Tuhan berbeda dengan al-Asyari.
Al-Asyari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan Dzat, melainkan
melekat pada Dzat itu sendiri, sedangkan al-Maturidi berpendapat bahwa sifat
itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula dari esensi-Nya.
Sifat-sifat Tuhan itu Mulzmah (ada bersama) dzat tanpa terpisah.[15]
4). Meyakini Kalam Allah Adalah Qadim
Baik Al-Maturidi dan Al-Asyari membagi kalam menjadi dua, kalam
abstrak (nafsi) dan kalam yang tersusun dari huruf dan suara (lafdzi). Kalam
Allah nafsi bersifat qadim dan tidak berupa huruf dan suara sebagaimana
mahkluk. Sedang huruf-huruf Arab yang tertulis dalam mushaf al-Quran hanyalah
sebagai perantara kalam Allah yang qadim agar dapat dipahami mahkluk-Nya.
Dalam persoalan al-Quran mahkluk atau
bukan, terjadi perbedaan antara tiga kelompok. Mu’tazilah yang sejak awal
mengingkari wujudnya sifat diluar dzat Allah secara keras menyatakan al-Quran
adalah mahkluk dan mereka tidak mengakui kalam nafsi. Ulama-ulama pengikut al-Asyari
berbeda, menurut mereka al-Quran adalah kalam Allah dan bukan mahkluk. Mereka
tidak secara jelas menyatakan al-Quran adalah qadim. Al-Maturidi berpendapat
bahwa kalam Allah adalah sifat yang melekat pada dzat Allah. Sehingga kalam
Allah bersifat qadim karena dzat Allah itu sendiri qadim. Kalam Allah tidak
berupa huruf dan kalimat, karena huruf dan kalimat adalah sesuatu yang baru
(hadis) dan sangat tidak layak berada pada dzat Allah yang qadim. Dari sini
terlihat sekali bahwa antara al-Asyari dan al-Maturidi sama-sama berkeyakinan
bahwa kalam Allah nafsi adalah qadim.[16]
5). Meyakini Melihat Allah
al-Maturidi dan al-Asyari meyakini bahwa Allah bisa dilihat dihari kiamat
berdasar pada beberapa ayat al-Quran, diantaranya.
وجوه
يومئذ ناضرة الى ربها ناظرة
Mu’tazilah berpendapat lain. Melihat
Allah akan membawa pada anthropomophormisme, karena sesuatu yang dilihat pasti
akan berada dalam satu tempat. Dan Allah mustahil berada pada satu tempat.
al-Maturidi dan al-Asyari memasukan
persoalan ru’yah ini dalam kejadian-kejadian di hari kiamat (ahwal yaum Al
Qiyamah). Dan segala proses dan tata cara kejadian dihari kiamat hanya khusus
bagi ilmu Allah yang mengetahuinya. Sedang mahkluk Allah tidak ada yang
mengetahui proses, bentuk dan tata caranya. Kecuali hanya nash-nash al-Quran
yang menunjukan adanya hal itu. Dan ini wajib diyakini meskipun tidak tahu
hakikat atau proses melihat Allah itu sebenarnya.
Bila dicermati, terlihat sekali bahwa
Mu’tazilah mengesampingkan ayat-ayat al-Quran demi memenangkan logika berfikir
mereka yang dirasa benar. Sedang al-Maturidi dan al-Asyari benar-benar tunduk
pada nash yang secara jelas menetapkan persoalan ru’yah ini dan mengembalikan
pada Allah tentang cara-cara ru’yah tersebut. Hal ini merupakan ciri khas dari
ulama salaf.[17]
6). Status Pelaku Dosa Besar
al-Maturidi dan al-Asy’ari sepakat menyatakan bahwa orang yang
melakukan dosa besar tidaklah kafir dan tidak kekal di neraka. Hukuman kekal
dineraka adalah hanyalah untuk dosa terbesar, yaitu kufur. Dosa-dosa selain
kufur masih dibawah derajat kufur. Bila Allah memberi hukuman pelaku dosa besar
sama dengan hukumsn orang kafir maka hukuman tersebut akan melebihi kadar dosa
pelakunya. Ini adalah perbuatan dzalim yang mustahil bagi Allah dan tidak
sesuai dengan janji-Nya.
Dalam hal ini, Al-Maturidi dan Al-Asyari
menyatakan pendapat yang benar mengenai orang-orang mukmin yang melakukan dosa
besar adalah menyerahkan sepenuhnya pada Allah. Bila dikehendaki oleh-Nya maka
segala dosanya akan diampuni dengan anugrah (fadl), kebaikan (ihsan), dan kasih
sayang (rahmat). Dan bila tidak dikehendaki maka akan disiksa sesuai dengan
kadar dosanya dan tidaklah kekal di neraka, sehingga orang yang beriman berada
diantara harapan (raja’) dan kekhawatiran ( khauf). Allah berhak untuk
mengampunni pelaku dosa besar namun tetap menyiksa pelaku dosa kecil.
Sebagiamana disebutkan dalam Al-Quran.
إن
الله لايغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء. ومن يشرك فقد إفترى إثما
عظيما.
Sungguh Allah tidak akan mengampuni
dosa syirik, dan Dia akan mengampuni dosa selainya bagi siapa saja yang
dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang telah menyekutukan Allah maka dia telah
berbuat dosa yang amat besar. (Q.S an-Nisa’: 48).[18]
7). Meyakini Syafa’at Rosul
al-Maturidi dan al-Asyari dengan berlandaskan Al-Quran dan Hadis
berkeyakinan bahawa Nabi Muhammad SAW, diberi kemampuan untuk memberikan
syafa’at di hari kiamat. Dan syafa’at ini tidak akan terjadi kecuali
mendapatkan ridha dari Allah. Dan orang-orang kafir tidak termasuk golongan
yang akan mendapatkan syafaat rasul. Pendapat ini berada di tenga-tengah antara
kaum Syi’ah Rafidhah dan Mu’tazilah. Kelompok Rafidhah meyakini bahwa Nabi
Muhammad SAW, dan sahabat Ali memiliki kemampuan meberikan syafaat tanpa harus
ada izin dari Allah. Sehingga, meskipun memberikan syafaat pada orang-orang
kafir tetap diterima. Sedang Mu’tazilah meniadakan sama sekali syafaat dari
rasul karena bertentangan dengan konsep Al Wa’du wa Al Waid mereka.[19]
8). Kasb Versi Al-Asyari dan Kasb Versi Al-Maturidi
Tentang perbuatan manusia, Al-Asyari
menggunakan teori yang dikenal dengan istilah Al-Kasb. Al-Kasb secara bahasa
memiliki makna thalabah ( menuntut atau mencari) dan ridha (mengusahakan
atau memperoleh). Jadi, kasb memiliki pengertian adanya keaktifan pada diri
pelaku (manusia). Al-Asyari mengatakan bahwa Al-Kasb sendiri mengandung makna kasb
Al-‘ibad makhlukot lillah, dalam arti, kasb merupakan terjadinya perbuatan
dengan adanya daya yang baru (qudrah muhadasah). Dari sini bisa disimpulkan
bahwa pendapat al-Asyari mengenai perbuatan manusia sama dengan pendapat ulama
Ahlissunnah yang lain, yaitu adanya peran manusia dalam perbuatanya namun tidak
sampai menyamai derajat Tuhan yang telah menciptaka peran tersebut.
Argumen-argumen ini dikuatkan dengan firman Allah Q.S As-Shoffat: 96.
والله
خلقكم وما تعملون
Oleh Al-Asyari kata ta’malun
diartikan “yang kamu perbuat” bukan “yang kamu buat”. Jadi ayat diatas
mempunyai makna “ Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu buat”, sehingga
Al-Asyari menyimpulkan perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan.
Kesimpulan teori kasb al-Asy’ari
sebagaimana yang diungkapkan al Fayumi, adalah keterkaitan antara perbuatan
yang merupakan ciptaan Allah dan ikhtiyar manusia. Dengan sudut pandang,
manusia sama sekali tidak berperan pada hasil kasb tersebut, bahkan kasb
tersebut secara hakikat merupakan ciptaan Allah.[20]
Pada masalah kasb al-Maturidi tidak
mengungkapkan panjang lebar, sebab dalam pandangan al-Maturidi mengenai kasb
sejalan dengan al-Asyari. Namun metode al-Maturidi sedikit berbeda dengan yang
disampaikan al-Asyari, pemikiran l-Maturidi sedikit cenderung sama dengan
mu’tazilah, terutama pada persoalan kasb yang disampaikan al-Asyari. Dia
berpendapat bahwa munculnya kasb karena sebuah daya yang dititipkan Allah
kepada manusia, sehingga pendapat ini memberikan pemahaman peran lebih pada
kebebasan manusia dalam menjalankan perbuatanya dengan daya yang dimilikinya
dan memiliki kemampuan untuk mengabaikan perbuatanya dengan dengan daya
tersebut. Pendeknya, manusia memiliki kemerdekaan penuh pada kasb ini, jika dia
menghendaki makan akan dikerjakan dan jika enggan melakukan perbuatan makan,
maka akan ditinggalkanya. Dengan demikian sangat rasional jika pahala dan
siksaan diterapkan pada manusia
Perbedaan kasb al-Asy’ari dan al-Maturidi
adalah terletak pada penempatan daya manusia. Jika al-Maturidi mengatakan daya
merupakan titipan yang bersifat abadi sehingga menimbulkan kebebasan mutlak
pada perbuatan manusia sesuai kehendaknya, sedang al-Asyari lebih cenderung
daya tersebut ada ketika perbuatan muncul atau tidak bersifat abadi, sehingga
jika perbuatan yang diciptakan itu belum muncul, secara otomatis manusia tidak
memiliki daya sama sekali.
Dari uaraian diatas, sangat layak
jika para ulama menganggap teori tersebut tidak jauh berbeda. Meskipun al-Maturidi
berpandangan bahwa manusia memiliki pengaruh. Tapi pengaru (ta’tsir) ini tetap
tidak berfungsi tanpa ada peran dari Allah. Hanya saja dalam konteks ini al-Maturidi
memberi peran aktif manusia meskipun masih dibawah bayang-bayang kekuasaan
Tuhan. Sehingga masih tetap Allah lah yang sangat berperan dalam perbuatan
manusia. Dengan demikian ksimpulan terakhir dari titik temu kedua teori tersebur
adalah keduanya sama-sama sepakat bahwa perbuatan manusia adalah diciptakan
oleh Allah.[21]
9). Masalah Manhaj Teologi
Para ulama dan peneliti
sepakat bahwa manhaj (metode) yang digunakan al-Asyari dan al-Maturidi dalam
menyusun akidah adalah pertengahan antara pemahaman aql dan naql. Keduanya
menjadi penengah antara kaum penganut akal liberal seperti mu’tazilah dan
golongan tekstualis lainya. Pendeknya, keduanya sama-sam memiliki sikap yang
moderat (tawassut) dan berusaha keras untuk membentengi akidah Islam di masa
itu yang mengalami kekaburan.[22]
Dari keterangan pemikiran-pemikiran
Abu Manshur al-Maturidi yang dibandingkan dengan pemikiran al-Asyari, maka
dapat ditarik beberapa poin penting diantaranya adalah:
a). Abu Manshur Al-Maturidi meyakini
adanya kebebasan peran akal dalam mengenal dan menggali hukum-hukum dari Allah,
namun porsi akal dalam hal ini tetap berada di bawah ketentuan hukum syar’i.
b). Kaitanya dengan perbuatan Allah
Al-Maturidi menetapkan bahwa semua pekerjaan Allah SWT, selalu terkandung
hikmah didalamnya dan sepakat atas
bersih dan terbebasnya Allah SWT, dari sifat ketergantungan terhadap sebuah
tujuan yang dapat membebani Allah SWT,
c). Abu Manshur al-Maturidi meyakini
adanya sifat-sifat pada Tuhan
d). Al-Maturidi juga menganggap
bahwasanya kalam Allah adalah bersifat qadim, yaitu yang dimaksud dengan kalam
lafdzi.
e). Kaitanya dengan melihat Tuhan, al-Maturidi
berkeyakinan bahwa kelak dihari kiamat orang-orang yang beriman akan dapat
melihat Tuhan mereka.
f). Status dosa besar yang di ampu
oleh orang-orang yang beriman akan tetap mendapatkan siksa di neraka sesuai
dengan perbuatanya, namun tidak menjadikanya kekal di neraka.
g). Meyakini adanya syafaat rasul di
hari kiamat nanti bagi hamba-hambanya yang beriman.
h). Abu Manshur al-Maturidi meyakini
bahwa perbuatan manusia adalah diciptakan oleh Allah SWT.
i). Metode (manhaj) yang digunakan
oleh Abu Manshur Al-Maturidi adalah tawassut atau moderat, yaitu dengan
mengedepankan aql dan naql.
BAB
III
KESIMPULAN
Abu Manshur al-Maturidi
adalah salah satu ulama yang mengaut paham mazhab Imam Abu Hanifah. Dia dilahirkan
di kota Samarkahand yang sekarang wilayah tersebut terletak di daerah sekitar
negara Uzbekistan. Al-Maturidi menjadi salah satu ulama yang sangat disegani
pada masanya, sehingga banyak orang-orang yang mengikuti jalan pemikiranya yang
sesuai dengan ulama salaf. Para pengikut Al-Maturidi disebut dengan al-Maturidiyah
yang sebagian besar penganut paham mazhab Imam Abu Hanifah.
Jika membahas mengenai pemikiran al-Maturidi
maka tidak akan terlepas dari pemikiran al-Asyari, mengingat kedua ulama tersebut
dijadikan sandaran Ahlussunnah wal Jama’ah dalam kaitanya akidah. Mengingat
nalar pemikiran keduanya sejalan dan selaras walaupun terdapat sedikit
perbedaan diantara keduanya, namun secara pokok akidah adalah sama.
al-Asyari dan al-Maturidi
hidup dalam satu periode, meski keduanya tidak berkumpul dalam satu wilayah,
dan sejarah juga tidak secara jelas menyebutkan apakah keduanya pernah bertemu
atau tidak. Al-Asyari hidup di Basrhah, salah satu kota diwilayah Irak yang
menjadi pusat perkembangan gerakan Mu’tazilah. Perdebatan dan benturan sering terjadi
di wilayah ini. Sedang al-Maturidi hidup agak jauh dari Irak, tepatnya dikota
Maturid, propinsi Samarkand yang jauh dari pusat gerakan Mu’tazilah. Namun pada
hakikatnya wilayah Samarkand juga tidak lepas dari pengaruh gerakan Mu’tazilah.
Baik al-Maturidi
dan al-Asyari memiliki lawan yang sama, yaitu Mu’tazilah dan kelompok
tekstualis yang benar-benar fanatik pada dzahir sebuah teks. Inilah agaknya
yang menjadikan konsep teologi keduanya tidak jauh berbeda. Tapi keduanya juga
tidak terlepas dari perbedaan pemikiran. Namun banyak ulama yang mengatakan
perbedaan keduanya tidak signifikan. Bahkan Muhammad Abduh menyatakan bahwa
perbedaan keduanya tidaklah lebih dari sepuluh masalah, dan perbedaanya hanya
seputar teks saja, artinya secara prinsip tetaplah sama.
DAFTAR RUJUKAN
Hanafi, Ahmad. Theology Islam.Jakarta:
Pustaka Al-Husna 1992
Huda, Nuril. Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) Menjawab
Persoalan Tradisi dan Kekinian. Jakarta Pusat: PP Lembaga Dakwah NU (LDNU).
2007
Razak,
Abdul dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. Bandung:
Pustaka Setia. 2010
Tim
Karya Ilmiah Lirboyo 2008. Aliran-Aliran Teologi Islam. Kediri: Madrasah
Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo. 2008
Tim Karya
Ilmiah Lirboyo 2007. Polaritas Sekterian. Kediri: Madrasah Hidayatul
Mubtadi’in Lirboyo. 2007
Forum
Kajian Ilmiah Angkatan 2014. Potret Ajaran Nabi Muhammad Dalam Sikap Santun
Akidah NU. Kediri: Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo. 2014
Wiyani,
Novan Ardy. Ilmu Kalam. Yogyakarta: Teras, 2013
Tanpa nama, http://syafieh.blogspot.co.id/2013/04/ahlus-sunnah-wal-jamaah-al-asyari-dan.html.tgl 15 Januari 2016.
[1]Tim
Karya Ilmiah Lirboyo 2008, Aliran-Aliran Teologi Islam, (Kediri:
Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo, 2008), hal.242
[2]Tanpa nama, http://syafieh.blogspot.co.id/2013/04/ahlus-sunnah-wal-jamaah-al-asyari-dan.html. diakses tanggal 15 Januari 2016
[3]Ibid..,hal.243
[4]A.
Hanafi, Theology Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992), hal.133-134
[5]Tim
Karya Ilmiah Lirboyo 2007, Polaritas Sekterian, (Kediri: Madrasah
Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo, 2008), hal.42
[6]Tim
Karya Ilmiah Lirboyo 2008, Aliran-Aliran.., hal. 243
[7]Tim
Karya Ilmiah Lirboyo 2008, Aliran-Aliran.., hal.244
[8]Nuril
Huda, Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) Menjawab Persoalan Tradisi dan
Kekinian, (Jakarta Pusat: PP Lembaga Dakwah NU (LDNU), 2007), hal. 182
[9]Ibid..,hal.
245
[10]Tanpa nama ,http://syafieh.blogspot.co.id/2013/04/ahlus-sunnah-wal-jamaah-al-asyari-dan.html diakses tanggal 15 Januari 2016
[11]Tim
Karya Ilmiah Lirboyo 2008, Aliran-Aliran.., hal.246
[12]Novan
Ardy Wiyani, Ilmu Kalam, (Yogyakarta: Teras, 2013), hal.176
[13]Forum
Kajian Ilmiah Angkatan 2014, Potret Ajaran Nabi Muhammad Dalam Sikap Santun
Akidah NU, (Kediri: Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo, 2014), hal. 24
[14]Forum
Kajian Ilmiah Angkatan 2014, Potret Ajaran Nabi Muhammad.., hal.26
[15]Abdul
Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010),
hal. 128
[17]Tim
Karya Ilmiah Lirboyo 2008, Aliran-Aliran.., hal. 249
[18]Tim
Karya Ilmiah Lirboyo 2008, Aliran-Aliran.., hal. 252
[19]Ibid..,
hal. 252
[20]Tim
Karya Ilmiah Lirboyo 2008, Aliran-Aliran.., hal. 263
[21]Ibid..,
hal.260-265
[22]Ibid..,
hal. Hal 272
0 komentar:
Posting Komentar