Konflik Politik Segitiga Kekuasaan: Siapakah pemenangnya?
Judul Buku : Sukarno, Tentara,
PKI – Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965
Penulis : H. Rosihan
Anwar
Penerbit : Yayasan Obor
Indonesia
Cetakan : Edisi Pertama 2006
Tebal Buku : I – 396 halaman
Harga Buku : Rp. 70.000,00
Peresensi : Irfan Mubarok
Berbicara
sejarah perjuangan bangsa Indonesia periode awal atau orde lama sangat menarik
untuk dipelajari dan dikaji. Tidak dapat dipungkiri, bahwa zaman kepemimpinan
presiden Sukarno tersebut banyak terjadi intrik kekuasaan yang diperankan oleh
Sukarno, Tentara dan PKI. Ketiganya merupakan komponen penting yang memainkan
dinamika kekuasaan politik Indonesia selama periode tersebut. Dalam perjalanan
kedepanya, dinamika tersebut akan mengakibatkan meletusnya prahara politik
kekuasaan yang sangat memilukan, hingga merubah bentuk arah politik Indonesia
hingga sampai saat ini.
Banyak buku yang mencoba menulis penulusuran
sejarah periode 1960-an dengan berbagai argumen dan analisis yang disajikanya.
Namun, buku karya H. Rosihan Anwar ini memiliki keunikan tersendiri dalam
bentuk penyajianya. H. Rosihan Anwar lahir di Sumatra Barat, 10 Mei 1922. Ia
pernah menduduki jabatan sebagi ketua dalam organisasi Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) pusat pada tahun 1970-1973. Menulis lebih dari 30 buku dalam
bidang jurnalistik, agama, sejarah, politik, serta banyak menulis makalah
seminar dan konferensi.
Membaca
bait demi bait buku ini serasa pembaca akan dibawa dalam gejolak emosi dan
suasana nyata peristiwa yang terjadi masa lalu. Hal tersebut dikarenakan buku
berjudul Sukarno, Tentara, PKI – Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik
1961-1965 merupakan sebuah diary yang ditulis sangat teliti oleh H.
Rosihan Anwar berdasarkan waktu terjadinya peristiwa, sehingga tidak diragukan
lagi keotentikan informasi yang disampaikan. Buku ini pada mulanya berjudul
“Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965” yang sudah di edit
ulang oleh beliau.
Secara
garis besar, buku ini dibagi kedalam 5 bagian/BAB utama yang disesuaikan dengan
tahun-tahun terjadinya peristiwa antara tahun 1961 hingga 1965. Bagian I 1961
tentang menyerahnya pimpinan PRRI-Permesta. Bagian II 1962 tentang perjuangan
pembebasan Irian Barat. Bagian III 1963 tentang konfrontasi dengan Malaysia.
Bagian IV 1964 membahas memanasnya suhu politik dalam negeri. Bagian V 1965
merupakan tahun meletusnya Gerakan 30 September/Gestapu yang merupakan puncak
dari ketegangan-ketegangan yang terjadi diantara ketiganya, hingga membawa Indonesia
ke dalam bentuk pemerintahan yang monolistis.
Banyak
catatan sejarah penting yang saya temukan didalam buku ini berkaitan tentang
permainan politik segitiga antara Sukarno, Tentara, dan PKI. Dalam hal ini
Rosihan Anwar menuliskan “ Dikalangan masyarakat politik Jakarta sekarang ini
banyak dibicarakan tentang pertentangan pendirian antara Presiden Sukarno
dengan Tentara, yang berkisar pada dua hal yaitu: 1. Soal Irian Barat, 2. Soal
PKI. Terhadap PKI pihak Tentara tetap bersikap waspada (hal. 51-52)”.
Dalam
catatan lain H. Rosihan Anwar juga menjelaskan bahwa “ TNI dan PKI menjalankan
strategi dan taktik yang sama. Keduanya berusaha menghindarkan konflik dengan
Sukarno sambil berusaha mempergunakan pengaruh dan kedudukan legal Presiden
untuk memperkuat dirinya dan untuk melemahkan pihak lain, sambil memperkuat
barisan sendiri menghadapi zaman post Sukarno (hal. 24)”. Disisi lain
PKI juga berusaha untuk memperkuat kedudukanya sebagai partai yang legal dengan
mengadakan kongres luar biasa. Rosihan Anwar menuliskan “Tanggal 26 April 1962
dimulai kongres Nasional ke-VII (luar biasa) PKI. Kongres memusatkan usaha
penyesuaian Konstitusi dan Program PKI yang termaktub pada Pen. Pres. No.7 yang
mengatur tentang kepartaian di Indonesia (hal 145)”.
Dengan
adanya hal tersebut, Tentara semakin tak berdaya dalam strateginya untuk
melemahkan kedudukan PKI dalam kontestasi politik Indonesia. Dalam kesempatan
yang sama, konsep Nasakom (Nasionalis – Agama – Komunis) yang didengungkan oleh
Sukarno membuat Tentara bersikap lunak. Apabila mereka berani mempersoalkan
PKI, maka mereka juga harus siap berhadapan dengan Sukarno. Tentunya hal
tersebut tidak diinginkan oleh mereka. Bagi Sukarno sendiri, hal ini semakin
memperkokoh kedudukanya sebagai penguasa tertinggi yang tak tergantikan, sambil
ia mengendalikan alur politik yang ada dari pesaing utamanya, Tentara dan PKI.
Menurut
saya, hal menarik dari serangkaian rentetan peristiwa yang dijelaskan di
awal-awal BAB buku ini akan tersaji pada bagian BAB V sebagai puncak terjadinya
prahara politik akibat ketegangan yang dimainkan oleh Sukarno, Tentara, dan
PKI. Sudah barang tentu, yang dimaksud dengan puncak prahara politik adalah
meletusnya Gerakan 30 September/Gestapu. Dengan bahasa sederhana namun menarik,
H. Rosihan Anwar memberi judul tulisanya “ Tembakan Di Waktu Malam – 1 Oktober
1965”. Beliau menuliskan “ Dahsyat kedengaranya. Satu rentetan tembakan
membelah kesunyian malam sehingga membuat saya terbangun. Istri saya pun
terbangun dan kami pergi ke jendela kamar tidur (hal. 375)”. Dalam tulisan
selanjutnya, H. Rosihan Anwar menuliskan peristiwa Gestapu tersebut dengan
penuh ketelitian dengan latar suasana yang akan membuat gejolak emosi para pembaca.
Ada
beberapa catatan penting yang coba saya berikan pada buku yang sangat fenomenal
ini guna penyempurnaan kedepanya. Pertama, masih terdapat beberapa
kesalahan penulisan huruf pada bacaan. Kedua, terlalu banyak sub BAB
yang dituliskan didalam BAB utama seakan memberikan kesan membosankan bagi
pembaca karena sebagian peristiwa yang ditulis tidak ada kaitan erat dengan
pembahasan utama. Ketiga, banyak terdapat istilah-istilah asing yang
masih sukar pembaca pahami.
Terlepas
dari itu semua, buku ini tetap layak disebut sebagai buku sejarah yang sangat
fenomenal sekaligus buku induk utama bacaan dan rujukan buku-buku sejarah yang
lain. Buku yang dikemas berangkat dari catatan diary seorang wartawan
sekaligus penulis senior H. Rosihan Anwar ini akan membuat pembaca menyelami
suasana sejarah masa lalu. Karena ketekunan, ketelitian, dan ketajaman analisis
beliau mencatat setiap jengkal peristiwa yang terjadi masa lalu, membuat beliau
dijuluki sebagai peramal ulung masa depan politik Indonesia. Setelah membaca
buku ini Anda akan menemukan energi baru yang sangat berkesan dalam kehidupan
Anda dalam memandang perjalanan politik Indonesia. Selamat membaca!!.
0 komentar:
Posting Komentar